BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Peradaban Cina merupakan salah satu dari
yang tertua dalam sejarah dunia. Beberapa sumber literatur menyebutkan.sekitar
5000 tahun yang lalu, kemasyarakatan serta budaya di daratan ini mulai
terbentuk. Dilihat dari peninggalanartefaknya, sangat sedikit yang tersisa
mengenai apa yang bisa diketahui tentang kehidupan dan peninggalan-peninggalanlainnya
dari para pengrajin dan seniman Cina (Sullivan, 1965). Kebanyakan orang tidak
terlalu familiar
dengan
konsep seni rupa timur jauh khususnya Cina dan Jepang, biasanya hanya dapat
menerka dengan tema terbatastema tradisional dan teknik yang terbatas. Menurut
Sullivan dalam bukunya yang berjudul The Book of Art: Chineseand Japanese Art,
seni rupa Cina, khususnya seni lukis, mempunyai tema serta subject matter yang
tidak kalah variatifdari karya-karya seni lukis di Eropa dan beberapa wilayah
Barat. Dimulai dari medium padat seperti lukisan dindingyang dibuat menggunakan
impasto yang
bersifat
berat hingga gulungan yang dibuat menggunakan sapuan-sapuan tintatipis, seni
lukis Cina mempunyai kelebihannya tersendiri sebagaimana yang secara lebih
lanjut akan dijelaskan padakarya tulis skripsi ini.Perkembangan seni rupa Cina
sering diasosiasikan sebagai variatifnya perkembangan tembikar-tembikar serta
artefakartefakantiknya, karena pada salah satu penemuan tertuanya, peradaban
Cina banyak meninggalkan relik-relik keramik(MacKenzie, 1961). Peradaban Cina
sendiri dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu Cina Klasik
(5000SM200SM),Cina Imperial (221SM-1900), dan Cina Kontemporer (1900-sekarang)
(Fitzgerald, 1935). Pembahasan senilukis Cina, khususnya pada periode besar
Cina Imperial, tak lepas dari apa yang disebut Enam Hukum Lukisan Cinayang
disebut-sebut sebagai ideologi kuno yang membuat lukisan Cina menjadi
berkarakter sebagaimana mestinya (Van
Briessen,
1988). Mengenai Enam Hukum Lukisan Cina serta isi dan penelaahannya yang
menjadi prinsip utama dalamseni lukis Cina ini akan dibahas secara lebih lanjut
dalam skripsi ini.Sebagian besar seniman Cina menggunakan filosofi dan
ajaran-ajaran turun-temurun sebagai sumber inspirasinya.Misalnya pada saat
melihat pemandangan alam, para seniman Cina berusaha melihat sesuatu
dibaliknya, dibandinghanya menggambarkan apa yang benar-benar ada di
hadapannya, mereka merasakan resonansi yang didapat dari alammelalui
penghayatan dan berusaha menyampaikan perasaan itu ke dalam bentuk lukisan.
Hasil
lukisan-lukisannya tidakdititikberatkan pada figur maupun atribut visual yang
terdapat pada apa yang sebelumnya digambarkan, melainkanmembuka serta
menampakkan “jiwa” yang terdapat pada subyeknya.Salah satu temuan awal tentang
keberadaan seniman Cina di Jawa adalah lukisan cat air dengan objek badak
berculabuatan seniman yang tidak diketahui namanya pada pertengahan abad ke-17
(Krauss, 2005). Pada abad ke-18,pemerintah Cina pada masa itu mempunyai
kebiasaan untuk memberi lukisan-lukisan hadiah kepada bangsaEropa
yangberkunjung dan melakukan transaksi dagang. Hal ini dilihat oleh bangsa
Barat sebagai peluang bisnis dengan caramenjual hasil-hasil lukisan pemberian
pada saat mereka pulang kembali ke Eropa. Setelah terjadinya Perang Opiumyang
mengharuskan Cina mengubah sebagian besar siklus serta jalur dagangnya,
termasuk perdagangan seni, beberapaseniman tinggal dan menetap di Singapura
sekitar tahun 1850-an (Krauss, 2005).Kedatangan banyak perupa Cina ke Indonesia
disebutkan dalam catatan jurnal penelitian yang ditulis oleh WernerKrauss yang
berjudul Chinese Influence on Early Modern Indonesian Art? Hou Qua: A Chinese
Painter in 19thCentury Java yang terdapat di jurnal Archipel edisi 69 tahun
2005. Pada paragraf penjelasannya, para perupa Cina yangdatang ke Indonesia
kebanyakan berasal dari Singapura pada pertengahan abadke 19.
Sebagian
dari merekaberkesenian untuk mencari nafkah. Krauss juga mengutip secara
langsung kalimat yang terdapat pada dokumentasisurat kabar yang terbit kala itu
yang menyebutkan tersohornya para “ahli-ahli gambar” dari Cina. Menurut
beberapa catatan sejarah, ini adalah awal dari kedatangan para perupa Cina di
Nusantara.Asimilasi yang tumbuh antara masyarakat pendatang dan pribumi
menimbulkan wacana pluralitas. Saat akhirnyamasyarakat menjadi heterogen di
masa industrialisasi, para pendatang dapat menempatkan dirinya di berbagai sektoryang
sedang berjalan di Nusantara. Pada masa inilah banyak lembaga maupun perusahaan
yang dikelola oleh parapendatang bermunculan.Sekitar tahun 1937, Presiden
Soekarno memulai kegiatannya untuk mengoleksi karya-karya seni rupa secara
pribadidari berbagai seniman lokal maupun luar negeri. Beberapa di antaranya
dipindahkan ke rumahnya di Jalan PegangsaanTimur selama masa pengasingan
dirinya oleh Jepang.Disebut-sebut terdapat ribuan karya seni rupa yang tercatat
dalam daftar koleksi Istana Negara. Beberapa di antaranyadiarsipkan dan
ditempatkan di empat istana yang berbeda, yaitu Istana Negara Republik
Indonesia, Istana KepresidenanBogor, Istana Tampaksiring di Bali, Gedung Agung
Yogyakarta, dan Istana Cipanas. Karya-karya seni rupa tersebutmemiliki nilai sejarah
yang tinggi ditilik secara relatif dari seniman-seniman pembuatnya, seperti
Raden Saleh, BasukiAbdullah, Affandi, Trubus, Dullah, Lee Man Fong, Lim Wasim,
dan lain-lain.Beberapa perupa Istana yang dipekerjakan oleh Presiden Soekarno
pada masa itu dipilih
berdasarkan
selera pribadiPresiden pada masa itu, yang mana beliau merupakan seseorang yang
menaruh perhatian tersendiri terhadap karya-Poppy RahayuJurnal Tingkat Sarjana
Seni Rupa No.1 | 3karya lukis dan patung karya seniman nusantara. Para seniman
yang cukup sering dibicarakan di kalangan IstanaNegara pada era itu di
antaranya Henk Ngantung, Sudjojono, Lee Man Fong, Basuki Abdullah, dan
lain-lain. Masingmasingmengangkat tema serta teknik yang berbeda pada
karya-karyanya. Lee Man Fong, salah satunya, menggunakanvisualisasi lukisan
Cina dengan menggunakan percampuran teknik Barat hasil studinya yang ia peroleh
melaluibeasiswa dari pemerintah Belanda selama beberapa tahun. Lee Man Fong
juga merupakan pemrakarsa kelompokseniman Tionghoa di Indonesia yang bernama
Yin Hua pada tahun 1955 (Burton, 2009). Bekerja sebagai senimanIstana, Lee Man
Fong disejajarkan dengan beberapa seniman yang mengangkat teknik serta tema
lukisan Cina di istana,salah satunya adalah Lim Wasim. Pergolakan politik pada
tahun 60-an membuat hidup keduanya simpang siur, ManFong melarikan diri ke
Singapura, sementara Lim Wasim bertahan di Istana dengan tekanan dari
orang-orang yangmenganggapnya Sukarnois. Keduanya tetap aktif berkarya dan
berpameran secara rutin di dalam maupun luar negeri.Lee Man Fong disebut-sebut
sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan seni lukis bergaya Cina
diIndonesia.
Lahir
tahun 1913 dari keluarga seorang pejuang kemerdekaan Cina, Lee Man Fong sempat
belajar melukisdari seorang guru bernama Lingnan. Pada 1932, Lee Man Fong
hijrah ke Batavia dari Singapura. Atas bakat melukisnyayang luar biasa, Lee Man
Fong mendapat undangan berpameran dari asosiasi Hindia Belanda pada 1936 di
Belanda.Pada 1940, ia mendapat beasiswa dari Gubernur Jenderal Van Mook untuk
belajar seni rupa di Belanda. Di sana iasempat tinggal beberapa saat sebelum
akhirnya kembali pada akhir 1952 ke Indonesia. Pada saat itu ia bekerja
untuksebuah majalah bergambar di Jakarta bernama Nanyang Post, saat itulah
Presiden Soekarno mengunjungi studionya danmenaruh perhatian pada
karya-karyanya yang menurutnya bernuansa tenang dengan tampilan gambar-gambar
alam,hewan, dan aktivitas kemasyarakatan. Menurut Presiden Soekarno, keterangan
tersebut merupakan udara sejuk ditengah sibuknya suasana Revolusi. Beberapa
lukisannya yang berjudul “Kerbau”, “Tiga Kuda”, “Merpati”, “GadisBali”, dan
“Sepasang Kuda” merupakan sebagian kecil dari karya-karyanya yang sangat
dikenal.Pada penelitian ini dibatasi sebanyak enam lukisan yang menjadi sampel,
di antaranya karya-karya Lee Man Fong yangterdapat pada Istana Kepresidenan
Bogor yang berjudul “Dua Ikan Mas Hitam”, “Warung di Bali”, “Taman Pei
Hai”,“Wanita Bali Menenun”, “Wanita Bali Membawa Bakul”, dan “Wanita Jepang
Membawa Kipas”.
1.2. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode kualitatif secara studi literatur
denganmenggunakan purposive sampling sebagai teknik pengambilan data. Adapun
sampel-sampel yang telah dipilih akandievaluasi menggunakan pendekatan Teori
Seni Lukis Cina, khususnya menggunakan kaidah-kaidah yang terdapat padaEnam
Hukum Lukisan Cina, serta Kritik Seni Feldman pada pembahasan aspek-aspek
estetis yang kemudian akandijabarkan untuk kepentingan kesimpulan pada
analisisnya.Teknik pengumpulan data lainnya yang digunakan pada penelitian ini
yaitu dengan melakukan wawancara denganbeberapa sumber relevan mengenai topik
terkait, serta melakukan observasi langsung dengan mengunjungi
IstanaKepresidenan Bogor di Kota Bogor, Jawa Barat, untuk mendapatkan
dokumentasi langsung mengenai sampel-sampelyang menjadi fokus penelitian.
1.3. Analisis
Pada bagian ini akan memaparkan hasil
analisis dalam bentuk tabel yang tiap kolomnya memuat variabel
mengenaivisualisasi karya, deskripsi objek, serta kesimpulannya. Dalam
pengerjaannya, digunakan sampel-sampel yang telahdiuraikan pada bagian
sebelumnya, di antaranya karya-karya Lee Man Fong yang terdapat pada Istana
KepresidenanBogor yang berjudul “Dua Ikan Mas Hitam”, “Warung di Bali”, “Taman
Pei Hai”, “Wanita Bali Menenun”, “WanitaBali Membawa Bakul”, dan “Wanita Jepang
Membawa Kipas”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Lee Man Fong
Lee
Man Fong adalah seorang pelukis Indonesia yang dilahirkan di Tiongkok. Ia
dibesarkan dan mendapatkan pendidikannya di Singapura
Lahir:
14 November 1913, Guangzhou, Republik Rakyat Tiongkok
Meninggal:
3 April 1988, Jakarta
Buku:
Teachers' Perceptions of Students with Dyslexia in a Local Primary School,
LAINNYA.
Lee
Man Fong (1913-1988) adalah seorang pelukis Indonesia yang dilahirkan di
Tiongkok. Dia dibesarkan dan mendapatkan pendidikan di Singapura. Di sana dia
belajar melukis dengan seorang pelukis Lingnan, dan terakhir dengan seorang
guru yang mengajarkannya lukisan cat minyak. Awalnya Man Fong tak diijinkan
untuk menjadi seorang seniman oleh sang ayah, Lee Ling Khai, seorang pebisnis
tulen. Meski keluarganya berkonsentrasi di dunia dagang, Man Fong memilih sikap
yang lain. Ia meyakini uang tak hanya bisa dicari dengan cara berdagang
saja.Sejak usia empat tahun Man Fong sudah mulai melukis yang awalnya
menggunakan pinsil, kemudian meningkat ke pinsil warna, lalu krayon, pastel
hingga cat air. Dalam melukis dia pandai memberikan argumentasi dan deskripsi
atas lukisan-lukisannya dengan segenap pengetahuan dan khayalannya. Saat ayahnya
meninggal (1930), Man Fong mulai menghidupi keluarganya dengan kemampuan
melukisnya di Singapura. Tahun 1932, dia hijrah ke Jakarta untuk berkerja
sebagai pelukis komersil. Tahun 1936, Man Fong diundang berpartisipasi dalam
pameran lukisan oleh pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur.Man Fong tinggal
selama 33 tahun di Indonesia.Pada masa Perang Dunia II dia ditawan Jepang,
kemudian setelah Indonesia merdeka, Pada tahun 1961 Lee Man Fong diangkat resmi
menjadi pelukis istana dan warga Indonesia menggantikan pelukis sebelumnya,
Dullah (1950-1960). Semenjak itu Man Fong bekerja untuk Presiden Soekarno dalam
waktu empat tahun. Lee Man Fong tergolong pelukis maestro
sekelas
Affandi. Lukisan Lee Man Fong sangat disukai Soekarno karena dipandang seperti
ventilasi di tengah sibuknya revolusi.Lukisan-lukisan Lee Man Fong diakui
sebagai perintis pelukis Asia Tenggara. Pada Tahun 1964 ia ditunjuk oleh
Presiden Soekarno untuk membuat buku yang berjudul "Lukisan-Lukisan dan
Patung Koleksi Presiden Soekarno dari Republik Indonesia" buku ini berisi
seluruh karya-karya seni yang dikoleksi Presiden Soekarno dan semuanya
berjumlah 5 Volume, setiap volume berisi sekitar 100 koleksi lukisan dari
karya-karya pelukis Indonesia dan luar negeri.Lee man fong sendiri juga membuat
buku sendiri yang berisi kumpulan lukisannya, diterbitkan dalam buku Lee Man
Fong: Oil Paintings, volume I dan II dan diterbitkan oleh museum Art Retreat.
Buku ini ditulis oleh kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T., sementara
seleksi karya dilakukan oleh Siont Tedja. Kedua buku yang keseluruhannya berisi
700 halaman ini berisi 471 lukisan pilihan koleksi banyak kolektor dari seluruh
Dunia.Pada tahun 1966, karena kekacauan politik di Indonesia, Lee Man Fong
hijrah ke Singapura dan lama menetap di sana, karena lama menetap di Singapura,
dia bahkan dianggap sebagai pelukis Singapura. Tahun 1988 ia meninggal di
Puncak, Jawa Barat, karena sakit.Man Fong sudah banyak menciptakan karya seni
lukis dengan berbagai judul. Di masa sekarang, lukisan Man Fong semakin
bernilai tinggi. Pada 2010 silam, Balai Lelang Sotheby Hong Kong melelang karya
Man Fong yang berjudulBali Life dengan rekor US$ 3,2 juta.
Harga
yang sangat tinggi dan menjadikannya sebagai pelukis dengan karya termahal di
kawasan Asia Tenggara.Selain itu lukisannya yang berjudul Fifteen Goldfish,
terjual seharga Rp 16 miliar dalam lelang Christie’s di Hong Kong. Lukisan yang
menggambarkan 15 ekor ikan emas hias itu dibuat pada 1940.Pada April 2011,
Sotheby kembali melelang sejumlah mahakarya seni Man Fong lainnya, antara lain
Doves atau Burung Merpati. Karya ini dinilai merupakan karya terbaik Man Fong
karena dia jarang melukis dengan media kanvas dan terbiasa melukis diatas media
hardboard. Selain itu karya seni juga berbeda dengan kebiasaan Man Fong yang
menampilkan warna Asia dalam lukisannya.
“Saya
suka Indonesia” kalimat itu yang sering terlontar dari mulut Lee Man Fong.Maka
ketika Jepang datang ke Indonesia dan hendak menjajah Indonesia,secara gerilya
Lee Man Fong turut serta melawan fasisme Jepang hingga akhirnya dia harus
terpenjara selama 6 bulan pada tahun 1942. Untunglah dia ditolong oleh
Takahashi Masao seorang opsir yang juga seniman ikebana (rangkaian bunga).
Mereka berkenalan hingga Takashi Masao tahu kalau Lee Man Fong adalah seorang
seniman dan dia tertarik dengan potensi yang dimilikinya maka Lee Man Fong pun
dibebaskan.Pada tahun 1949, Lee Man Fong di beri beasiswa oleh pemerinta
Belanda untuk belajar melukis di Belanda selama 3 tahun. Selama itu juga dia
sempat mengadakan beberapa pameran tunggal.
Dari
pameran-pameran ini Lee Man Fong mendapatkan kesuksesan.Tahun 1952 presiden
Soekarno sebagai pecinta seni lukis datang ketempat Lee Man Fong di Jalan
Gedong, semangat Lee Man Fong semakin terpacu. Seni lukis bagi Man fong tak
lagi cuma alat ekspresi individual, namun juga sebagai perabot yang membantu
sebuah pengabdian.Dan pada tahun 1955 dia mendirikan sebuah perkumpulan Yin
Hua, sebagai organisasi pelukis tionghoa, yang berada di Lokasari, Jakarta
Kota, dan sering mengadakan pameran. Presiden Soekarno pun sering menghadiri
pameran tersebut, bahkan saat lukisan yin hua berada di Tiongkok , Lee Man Fong
bertindak sebagai ketua delegasi. Dan itu sangat membuat presiden Soekarno
salut juga bangga.Hubungan Bung Karno dan Man Fong terjalin baik. Lukisan
Man-fong yang sempurna, manis, teknis, estetik dan justru terbebas dari
paradigma gelora perjuangan, sangat selaras dengan jiwa seni Bung Karno. Karya-karya
Man Fong dipandangnya sebagai ventilasi dari kesibukan revolusi. Memang, sang
presiden memiliki pandangan tidak terbelenggu kepada tema tertentu. Hal ini
terdata di kemudian hari, bahwa tema perjuangan ternyata hanya mencakup tak
lebih dari 10 persen belaka dari seluruh koleksinya yang beribu-ribu."A
thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar dari
bibir Bung Karno.Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam benda yang elok,
pemandangan yang tenteram, sudut kampung yang adem, sangat membahagiakannya.
Singkat kata, riwayat, pribadi dan karya-karya Man Fong cocok dengan Bung
Karno.
Hingga
usulan Dullah, salah seorang pelukis kesayangan Bung Karno, agar Man Fong
menggantikannya jadi pelukis Istana, diterimanya dengan sukacita. Maka pada
tahun 1961 Lee Man Fong diangkat resmi menjadi pelukis istana dan warga
Indonesia dan semenjak itu dia bekerja untuk Presiden Soekarno untuk waktu
lama.
Tapi
setelah diangkat menjadi pegawai resmi istana, dan bertugas mengurus koleksi
sang presiden, Lee Man Fong merasa ada yang kurang, karena Lee Man Fong
bukanlah seorang pekerja kantoran yg terbiasa dengan jam kerja, lingkungan yang
protokoler, dan harus selalu patuh terhadap Presiden. Semua itu tak mudah bagi
Lee Man Fong. Akhirnya Lee Man Fong mengajak sahabatnya Lim Wasim yang seorang
pelukis juga sebagai asisten Lee Man Fong dan Presiden Soekarno pun
menyetujuinya.
Ketika
Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi lukisannya ada sekitar
2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan ada yang menyebut, inilah koleksi
lukisan terbesar seorang Presiden di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika
kekisruhan politik dimulai, apa boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik
terpaksa "lari" ke Singapura.Dullah selama beberapa tahun berdiam
diri di rumah, lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim? "Syukur
saya tetap dipertahankan di Istana sampai tahun 1968. Tapi dengan pekerjaan
yang tak jelas. Dan tiap pagi harus apel, tiap kali harus lapor,"
kisahnya.
Hasil
pengabdian para pelukis Istana itu dinampakkan lewat buku monumental
Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama
disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid
berikutnya 1961. Buku ini disempurnakan oleh Lee Man Fong, dan terbit 1964
dalam lima jilid.
Pada
tahun 1985, karena kecintaannya yang begitu besar pada Indonesia, Lee Man Fong
kembali ke tanah air. Pada tahun 1988 dia meninggal di Puncak, Jawa Barat,
karena sakit liver dan paru-paru yang di deritanya.
Presiden
Republik Indonesia yang pertama , Sukarno memiliki hobi mengoleksi lukisan.
Salah satu pelukis istana adalah Lee Manfong yang berkarya selama empat tahun
[1961-1965]. Lee Manfong masuk menggantikan pelukis sebelumnya , Dullah
[1950-1960]. Lee Manfong berasal dari Guangzhou dan dilahirkan disana pada
tahun 1912. Ayahnya yang memiliki 10 anak. Pada saat usia Lee Manfong mencapai
empat tahun , ayahnya membawanya ke Singapura. Disana Lee masuk dalam sekolah
Tionghua dan ayahnya meninggal tahun 1929. Lee Manfong menekuni dunia lukis dan
advertensi , kemudian pindah ke Jakarta.Tahun 1946 , Lee Manfong mengadakan
pameran tunggal dan sempat menerima beasiswa Malino yang diberikan Van Mook.
Lee Manfong sempat menggelar pameran lukisan di Eropa.
Lee
kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan Yinhua asosiasi pelukis Tionghua di Lokasari ,
Mangga Besar , Jakarta.Puluhan seniman Tionghoa menjadi aktif berkarya dan
mengadakan pameran. Lie Nan Lung , wakil ketua organisasi berkata ,"Kami mau
kasih sumbang kami punya karya pada sejarah kesenian Indonesia".
Kontribusi pelukis diharapkan sama dengan kontribusi penulis Tionghoa yang
menciptakan genre sastra "Cina Peranakan" di awal abad 20 Tahun 1956
, Lee memimpin rombongan Yin Hua ke Tiongkok. Tahun 1961 ia menjadi pelukis
istana dengan Lim Wasim sebagai asistennya. Lim Wasim pernah menempuh
pendidikan di Institut Seni Sentral Beiking tahun 1950 dan bahkan mengajar di
Institut Seni di Xi'an pada tahun 1956. Tahun 1959 ia kembali ke Indonesia. Lee
mendapat gaji 5000 rupiah perbulan dan Lim mendapat gaji 4000 ribu rupiah
perbulan.Pada tanggal 23 Maret 1962, Sukarno menikah dengan Naoko Nemoto [3
Februari 1940] , seorang gadis cantik asal Jepang yang juga memiliki minat
tinggi pada lukisan. Nama Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Minat yang sama
pada Sukarno dan Ratna Sari Dewi yang sangat apresiatif terhadap seni lukis
juga berdampak pada Lee Manfong. Pada tahun 1964 , Ratna Sari Dewi berhasil
melakukan lobi di Jepang sehingga sebagian koleksi Sukarno yang dibukukan
berhasil dicetak di Jepang , percetakan Toppan , Tokyo. Buku ini disusun oleh
Lee Manfong dengan kualifikasi cetak yang nyaris sempurna.Saat terjadi
pergantiaan kekuasaan di Indonesia , Lee menyingkir ke Singapura. Dullah
menyembunyikan diri di rumahnya.
Sedangkan
Lim Wasim tetap berkerja di Istana sampai tahun 1968. Ketika Sukarno jatuh ,
koleksi lukisannya berjumlah 2300 bingkai , mungkin koleksi lukisan presiden
terbanyak didunia.Didalam buku muncul berbagai lukisan spesifik cat air
berbagai karya seniman Jepang. Lim Wasim , asisten Lee , mengatakan bahwa
kualifikasi
karya-karya
Jepang itu memang istimewa.Karya Le bukan sekedar lukisan saja , di kawasan
Hotel Indonesia , bisa dilihat gedung-gedung baru yang dibangun sedemikian
dekat dengan dome yang ditengahnya ada mosaik karya Lee. Di masa sekarang , lukisan Lee Man Fong semakin bernilai
tinggi. Di tahun 2010 , Sotheby Hong Kong melelang karya Lee yang berjudul
"Bali Life" dengan rekor 3.2 juta USD. Harga yang sangat tinggi dan
menjadikan Lee sebagai pelukis dengan karya termahal di kawasan Asia Tenggara.
Balai
lelang terkemuka , Sotheby pada April 2011 lalu melelang sejumlah mahakarya
seni yang salah satunya adalah lukisan karya Lee Man Fong yang berjudul Doves
atau Burung Merpati. Karya ini dinilai merupakan karya terbaik Lee karena Lee
jarang melukis dengan media kanvas. Ia terbiasa melukis diatas media hardboard.
Selain itu karya seni juga berbeda dengan
kebiasaan Lee yang menampilkan warna Asia dalam lukisannya. Lee adalah
ikon sejarah seni rupa Indonesia. Ia bukan jenis pelukis yang berambisi
menciptakan konsep-konsep artistik yang eksplosif , namun tetap dikenang karena
karyanya mampu menggoyang konvensi visual yang sudah ada.
2.2 Karya Abadi Lee Man Fong di atas Kain
Kanvas
Perusahaan global yang bergerak di bidang
lelang karya seni, Sotheby’s pada awal April mendatang akan melelang sejumlah
mahakarya kelas dunia di Hong Kong. Salah satu karya seni yang akan dilelang
adalah lukisan karya maestro Lee Man Fong berjudul Doves (burung merpati).
Menurut
perwakilan dari Sotheby’s Jakarta Septi, karya Man Fong ini akan dilelang pada
4 April mendatang. “Sebelum dilelang kami juga melakukan pameran di sejumlah
negara di Asia. Yaitu di Jakarta, Shanghai, Beijing, Bangkok, Taipei, Singapura
dan puncaknya lelang di Hong Kong,” jelasnya.
Burung
merpati karya Man Fong ini dinilai merupakan salah satu mahakarya dari pelukis
yang wafat tahun 1988 di Jawa Barat itu. Karena ia jarang sekali melukis dengan
menggunakan media kanvas. Ia terbiasa melukis di atas media hardboard. Selain
itu karya seni ini juga berbeda dengan kebiasaan Man Fong yang menampilkan
warna Asia dalam lukisannya. Lukisan burung merpati putih karyanya ini
ditampilkan dengan gaya barat (western). Burung merpati selama ini dianggap
sebagai simbol keabadian, dan Man Fong menuangkannya ke atas kain kanvas. Lee Man Fong merupakan ikon sejarah seni rupa
Indonesia. ia bukan jenis pelukis yang berambisi menciptakan konsep-konsep
artistik yang eksplosif.
Namun, ia tetap dikenang karena karyanya
yang mampu menggoyang konvensi visual yang sudah ada.Dalam kualifikasi
artisitik, Man Fong setara dengan maestro seni rupa yang lainnya seperti Hendra
Gunawan, S Sudjojono, atau Affandi. Man Fong mampu membuat berbagai objek, dari
tumbuhan, bunga, lanskap, alam benda, bangunan tua, satwa hingga manusia.
Medium yang digunakannya pun berbagai jenis, dari cat minyak di atas kanvas,
cat minyak di atas hardboard, cat air di atas kertas, pensil di atas kertas,
arang di atas kertas , atau pastel di atas kertas. Man Fong lahir di Guangzhou,
Tiongkok, 14 November 1913. Ayahnya Lee Ling Khai seorang pebisnis tulen yang
tak menghendaki putranya menjadi seorang seniman. Namun meski keluarganya
berkonsentrasi di dunia dagang, Man Fong memilih sikap yang lain. Ia meyakini
materi (uang) tak hanya bisa dicari dengan cara berdagang saja. Man Fong mulai
melukis sejak usia empat tahun. Awalnya menggunakan pinsil, kemudian meningkat
ke pinsil warna, lalu krayon, pastel serta cat air. Dalam melukis ia pandai
memberikan argumentasi dan deskripsi atas lukisan-lukisannya dengan segenap
pengetahuan dan khayalannya.Pada tahun 2010, Balai Lelang Sotheby Hongkong
melelan karya Man Fong yang berjudul Bali Life seharga 3,2 juta dollar Amerika.
Hal ini menjadikan Lee Man Fong sebagai pelukis dengan karya termahal di Asia
Tenggara. Lukisannya berjudul Fifteen Goldfish, terjual seharga 16 miliar
rupiah dalam lelang Christie’s di Hongkong. Di dalam lukisan ini terdapat 15
ekor ikan emas hias yang dibuat pada tahun 1940. April 2011, Sotheby kembali melelang
mahakarya seni Lee Man Fong yaitu Doves (Burung Merpati) karya ini
dianggap
sebagai karya terbaik Man Fong karena jarang melukis di media kanvas dan
terbiasa melukis di atas media hardboars. Dalam karyanya ini juga berbeda dari
sebelumnya karena Lee Man Fong sering menampilkan warna Asia dalam lukisannya.
1.BALI LIFE
2.DOVES
3.FITTEEN
GOLDENFISH
4.OIL
POIRTRAIT
5.THE
EAGLE
2.3 Warisan Identitas Lee Man Fong
Etnis Tionghoa
semakin bangga, kala Man Fong dan Wasim ditunjuk Bung Karno menjadi pelukis
Istana pada 1960. Mereka menggantikan posisi Dullah, yang sudah mengabdi selama
10 tahun. Sebelum resign, Dullah dihantui dilema: kebebasan bergerak dan
kecilnya imbalan.Pada 1961, Man Fong resmi menyandang WNI. Ia pun menjadi kepercayaan
Bung Karno di Istana Kepresidenan. Keberadaan dua pelukis Tionghoa di Istana
ini, tak pelak menjadi sebuah kebanggan bahwa dunia seni rupa Tionghoa bisa
memberikan sesuatu untuk Indonesia.Organisasi Yin Hua bukan sekadar lembaga
kumpulan pelukis Tionghoa saja. Bagaimana pun mereka sudah memberikan sumbangan
dan warisan identitas yang berharga.
Agus
Dermawan T mencatat, karya-karya pelukis Yin Hua ada yang bergaya
Tionghoa-Bumiputra, Tionghoa-Barat, dan Barat seutuhnya. Dari sana, khasanah
seni rupa kita bertambah kaya, bukan?Keunikannya, semua gaya lukis itu ternyata
mewarisi kekuatan visual seni Tiongkok yang dikenalkan Dinasti Tang, serta
proyeksi piktorial (cara penyajian sebuah gambar tiga dimensi terhadap bidang
dua dimensi) dan puitik khas Dinasti Song (960-1127). Semuanya itu diramu dan
dipadukan dengan objek keindahan alam Indonesia.
Lalu,
apa identitas dan warisan Man Fong kepada dunia seni rupa Indonesia? Selain
pernah mendirikan dan memimpin organisasi pelukis Tionghoa, Yin Hua, Man Fong
pun meninggalkan warisan lainnya, yakni sebuah kitab monumental penyempurnaan
susunan Dullah yang terbit dalam lima jilid. Kitab itu berisi koleksi Soekarno,
yang terdiri dari 400 lukisan, serta lebih dari 100 patung dan keramik. Kitab
tersebut dikerjakan pada 1964 oleh Man Fong dan Wasim.
Tentu
saja, warisan Man Fong yang penting lainnya adalah gaya Tionghoa-Barat dalam
lukisannya. Menurut Poppy Rahayu dalam tulisannya Analisis Lukisan Lee Man Fong
Periode 1950-1965 Koleksi Istana Negara, secara tematik Man Fong menyentuh
segala aspek yang terdapat dalam lukisan Tiongkok, seperti pemandangan,
lanskap, potret, satwa, serta impresionis dengan visual lukisan
Tiongkok.Tragedi berdarah 1965 menyapu semua harapan. Menurut Agus Dermawan T
dalam buku Melipat Air; Jurus Budaya Pendekar Tionghoa, pascaperistiwa kelam
itu, beredar isu pelukis Tionghoa yang ada di Yin Hua otomatis berada di bawah
Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).Sementara Baperki
dituding terafiliasi PKI, organisasi yang dilarang setelah dituduh jadi dalang
tragedi 30 September 1965.Anggapan itu menyimpulkan bahwa seniman Tionghoa
terindikasi komunis. Selain itu, dihembuskan isu bahwa Baperki dikuasai
pemikiran politik ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan, yang sangat sukarnois. Baperki
pun diidentikan
pengikut
Soekarno. “Padahal saya tak paham apa itu Sukarnoisme dalam politik. Saya hanya
tahu hubungan Bung Karno dengan seni,” kata Man Fong. Pada 1967, ia
meninggalkan Indonesia. Memilih terbang ke Singapura, dan tinggal di Bukit
Timah. Para pentolan pelukis Tionghoa, menyingkir dari gelanggang. Wen Peor
lari ke Hongkong. Siauw Tik Kwie sembunyi di kampung halamannya. Ada pula yang
lari ke Taiwan, Belanda, dan Brasil. Dengan demikian, seni rupa Tionghoa seakan
terhapus dari khasanah kesenian Indonesia.
2.4 Pelukis Istana Asal Negeri Sutera
Sukarno mengangkatnya menjadi
pelukis Istana. Gerakan 30 September membuatnya hijrah ke Singapura dan
dianggap sebagai pelukis besar Singapura.PERJALANAN hidup membawanya tinggal di
Indonesia. Ini bermula ketika Lee Ling Khai, ayahnya, seorang pejuang
kemerdekaan China, membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Lee Man Fong yang
masih berusia empat tahun, meninggalkan negeri leluhur untuk merantau ke
Singapura. Di sana Ling Khai merintis bisnis dagang dan berhasil meraih sukses
berkat bantuan seorang sahabat bernama Dr Sun Chung-Shan –nama lain dari Dr Sun
Yat Sen.Lee Man Fong, lahir di kota Guangzhou, China, pada 14 November 1913,
sempat mengenyam pendidikan di Anglo-Chinese School dan belajar melukis pada
seorang guru bernama Lingnan.
Tapi
jiwa pejuang ayahnya sepertinya belum padam meski tinggal di negeri orang. Ling
Khai terlibat dalam dunia politik yang membangkrutkan bisnisnya, dan akhirnya
meninggal dunia karena sakit pada 1929. Hidup menjadi pertarungan sesungguhnya
bagi Man Fong, yang menggunakan keahliannya menggambar untuk menafkahi ibu dan
ketujuh saudaranya. Sayang, hasilnya tak pernah mencukupi.Terlilit kesulitan
hidup di Singapura, pada 1932 Man Fong memutuskan hijrah ke Batavia. Dia
bekerja sebagai editor seni sebuah majalah China lalu desainer di Kolf and Co.,
sebuah perusahaan Belanda di bidang percetakan dan penerbitan. Dua tahun
kemudian dia mendirikan agen advertensi dan bekerja sebagai seniman komersial.
Karena bakat melukisnya, Man Fong mendapat undangan dari pemimpin asosiasi
Hindia Belanda Timur pada 1936 untuk ikut berpameran di Belanda. Ini menyulut
kemarahan anggota komunitas seniman Belanda, karena biasanya hanya anggota
komunitas merekalah yang boleh ikut berpameran. Bukan hanya karier yang lebih
baik, Man Fong juga menemukan pasangan hidupnya di Batavia. Dia menikahi
seorang pianis bernama Lie Muk Lan dan memiliki seorang putra bernama Lee Ramm.
Man Fong akhirnya menggeluti seni lukis secara total sejak 1940. Demi menggapai
impian untuk pameran tunggal, dia meninggalkan seni komersial untuk melukis di
Bali. Selama periode tersebut,alam dan kehidupan masyarakat Bali terekam di
atas kanvasnya. Setelah tiga bulan dia kembali ke Jawa dan menggelar pameran di
Jakarta pada Mei 1941 lalu diikuti pameran di Bandung.
Kariernya
terhenti sesaat ketika pada 1942 dia mendekam di hotel prodeo akibat turut
menentang kolonialisme Jepang. Enam bulan jadi tahanan, atas jasa Takahashi
Masao, seorang opsir-cum-seniman ikebana (seni merangkai bunga bunga) yang
terpikat kecakapan lukis Man Fong, dia dibebaskan. Man Fong kembali melakoni
rutinitasnya sebagai pelukis.Pada 1949 dia mendapat beasiswa Malino dari
Gubernur Jenderal Belanda Van Mook untuk memperdalam seni rupa di Negeri Kincir
Angin. Tiga dari karyanya diterima dengan baik. Selama tinggal di Eropa, dia
mengunjungi Inggris, Prancis, Switzerland, Italia, Luxemburg, dan Belgia.Kembali
ke Indonesia pada akhir 1952, Man Fong sempat berprofesi sebagai editor seni di
Nanyang Post, majalah bergambar yang terbit di Jakarta. Pada tahun yang sama,
Presiden Sukarno mengunjungi studionya di Jalan Gedong. Pameran-pameran yang
digelar Yin Hua, organisasi pelukis Tionghoa yang didirikan Man Fong pada 1955
dan bermarkas Prinsenpark (sekarang Lokasari), Jakarta, juga kerap disambangi
Sukarno.Sukarno jatuh hati. Karya-karya Man Fong yang “menyejukkan” hati lewat
tampilan gambar-gambar realis bernuansa alam, hewan, dan aktivitas kehidupan
sederhana masyarakat diibaratkan Sukarno sebagai ventilasi di tengah sibuknya
Revolusi.“Lukisan Lee Man-Fong yang realistik bukan salinan realitas yang
mencari kebenaran. Lee Man-Fong sendiri menyatakan bahwa lukisan realistiknya
adalah hasil transformasi observasi realitas yang sangat mendalam. Observasi
ini memerlukan penghayatan dan kejujuran.
Tentang teknik melukis yang disebutnya
‘rendering’, ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan yang
sophesticated untuk bisa merekam hasil observasi realitas,” tulis kurator Jim
Supangkat, “Chusin’s Realistic Painting. A Thesis”, dalam katalog pameran
tunggal pelukis Chusin Setiadikara di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Maret
2011.Bersama seniman Yin Hua lainnya, Man Fong memenuhi undangan dari Republik
Rakyat China pada pertengahan 1956. Mereka berkunjung selama lima bulan serta
mengatur pameran di Peking dan Kanton. Di China, Man-Fong bertemu pelukis Ch’i
Pai-Shih, yang dikenal sebagai salah seorang pembaharu seni lukis tradisional,
di Beijing, bahkan membuat potretnya. Di sinilah lukisan realistik Man Fong
mendapat pengakuan. Sekembali ke Indonesia, Man Fong menggelar pameran di
Jakarta yang menampilkan lebih dari 80 karyanya.
“Kerbau”,
“Tiga Kuda”, “Merpati Putih di Senja Hari’, “Gadis Bali (Nude)”, dan “Sepasang
Kuda” adalah sebagian kecil judul lukisan terkenal garapan Man Fong. Seperti
terbaca dari judulnya, Man Fong memang senang mengangkat tema-tema sederhana,
dari binatang hingga pemandangan alam. Dalam hal pencapaian artistik,
karya-karyanya disetarakan dengan karya maestro lukis seperti Affandi, Hendra
Gunawan, dan Sudjojono.“Lukisan-lukisan Lee Man Fong bersifat orisinil, dengan
figur-figur realistik dan penerapan warna yang matang. Dia menggabungkan antara
gaya lukis Barat dan gaya Chinese art.
Karya
Man Fong memberi warna baru bagi dunia seni lukis Indonesia saat ini,” kata
Kuss Indarto, kurator seni rupa asal Yogya.Pada 1961, atas anjuran pelukis
Dullah, Sukarno mengangkat Man Fong menjadi pelukis istana sekaligus memberinya
kewarganegaraan Indonesia. Man Fong menunjuk kawannya, Lim Wasim, sebagai
asistennya. Lim pelukis kelahiran Bandung, 9 Mei 1929, yang pernah menempuh
pendidikan di Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950, selain sempat mengajar
di Perguruan Seni Xian di Kota Xian, China.Selain melukis, Man Fong menguratori
benda-benda seni koleksi Soekarno. Meski berat menyesuaikan diri dengan
pekerjaan yang terjadwal dan urusan protokoler, Man Fong menjalaninya dengan
baik. Pada 1964, Man Fong ditunjuk Presiden Sukarno untuk membuat koleksi karya
seni Presiden Sukarno. Terbitlah “Lukisan-lukisan dan Parung dari Koleksi
Presiden Sukarno dari Republik Indonesia” dalam lima jilid.Keadaan mulai tak
menentu bagi Man Fong saat Sukarno lengser. Terkurung dalam ingar-bingar
politik, Man Fong bersama keluarganya terpaksa hijrah ke Singapura. Lama
tinggal di sana, Man Fong mendapat status penduduk tetap dan akhirnya dianggap
sebagai salah satu tokoh dan pelukis besar Singapura.Lee Man Fong baru kembali
ke negeri yang dicintanya, Indonesia, pada 1985. Dia tinggal di rumahnya di
Bogor. Namun sejak itu dia dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup.
Pada 1988, Lee Man Fong tutup usia akibat sakit liver dan paru. Kumpulan
lukisannya diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, dua jilid, oleh
Art Retreat Museum pada 2005.
Buku
ini ditulis kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T. Kedua buku itu memuat 471
lukisan pilihan Man Fong milik para kolektor dari seluruh dunia.
2.5 Harga Lukisan Termahal Lee MAN Fong
1.Balinese Procession (Prosesi Warga Bali) –
HK$15,7 juta (US$ 2.019.018
Lee Man Fong yang lahir di Guangzhou,
Tiongkok, pindah ke Singapura saat usia belia. Setelah sempat tinggal di
Batavia, dia bermukim di Bali dalam waktu cukup lama.Balinese Procession
menggambarkan kehidupan sehari-hari di Bali, bukan hanya upacara. Lukisan ini
menyuguhkan kesan hangat, lembut, dan tenang.Balinese Procession terjual
seharga HK$15,7 juta (Rp27,28 miliar) di balai lelang Sotheby’s Hong Kong pada
April 2017.
2.The Eagle (1948)
Lee Man Fong gemar memelihara binatang,
seperti ayam, merpati, beo, dan anjing. Halaman rumahnya juga berhias kolam
tempat hidup ikan mas koki. Tak heran jika dia kerap melukis piaraaannya
tersebut.Dalam metafora masyarakat Tionghoa, elang di atas karang menyimbolkan
seorang pahlawan yang berjuang sendirian. Garuda, yang dalam ajaran Hindu
adalah kendaraan Dewa Wisnu, dijadikan Lambang Negara Indonesia. Man Fong
menggabungkan dua simbolisme kuno itu dalam satu karya, The Eagle.
The
Eagle terjual di balai lelang Zeeuws Veilinghuis di Middelburg, Belanda pada
Juni 2017.
G. Kritik
.The
Eagle (1948)
Lee Man Fong gemar memelihara binatang,
seperti ayam, merpati, beo, dan anjing. Halaman rumahnya juga berhias kolam
tempat hidup ikan mas koki. Tak heran jika dia kerap melukis piaraaannya
tersebut.
Dalam
metafora masyarakat Tionghoa, elang di atas karang menyimbolkan seorang
pahlawan yang berjuang sendirian. Garuda, yang dalam ajaran Hindu adalah
kendaraan Dewa Wisnu, dijadikan Lambang Negara Indonesia. Man Fong
menggabungkan dua simbolisme kuno itu dalam satu karya, The Eagle.
The
Eagle terjual di balai lelang Zeeuws Veilinghuis di Middelburg, Belanda pada
Juni 2017.
2.6 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan,
dapat ditarik beberapa kesimpulan, seperti lukisan-lukisan dengan visualisasi
tema dan teknik Cina banyak terlihat menjelang akhir hayatnya di paruh akhir
1980-an. Hal ini merupakan hasil dari konsistensi transisi yang ia alami pada
pertengahan 1950-1960 di mana ia mulai kembali mengeksekusi teknik serta tema
lukisan Cina. Republik Indonesia yang pada saat itu baru merdeka, mendapat
banyak variasi dari arus heterogenitas yang dibawa oleh orang-orang pendatang,
khususnya yang berasal dari sekitaran benua Asia. Seni lukis Indonesia, yang
waktu itu terdapat di dalamnya banyak perupa dari Cina, salah satunya Lee Man
Fong, mengalami perluasan tema dan teknik eksplorasi yang disebabkan oleh
adidaya pemerintah Indonesia terhadap para tokoh-tokoh Tionghoa di Indonesia
yang selain mempunyai modus untuk berdagang, mereka juga dianggap membawa
potensi kebudayaan yang harus digali. Proses transformasi budaya dialami Lee
Man Fong dimulai pada saat kanak-kanak ketika ia masih tinggal di Cina dan
mendapatkan
pendidikan seni rupa langsung oleh guru-guru yang menganut filosofi seni lukis
Cina pada praktek seni rupanya. biodata Lee Man Fong, didapat pada saat ia
berusaha memunculkan sesuatu yang baru dengan membawa kecenderungan Timur
sebagai tonjolan utama visual yang kala itu ditawarkan pada saat ia berpameran
tunggal di Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar