Jumat, 09 Februari 2018

MAKALAH SENI LUKIS CINA

MAKALAH SENI LUKIS CINA



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Pendahuluan
Peradaban Cina merupakan salah satu dari yang tertua dalam sejarah dunia. Beberapa sumber literatur menyebutkan.sekitar 5000 tahun yang lalu, kemasyarakatan serta budaya di daratan ini mulai terbentuk. Dilihat dari peninggalanartefaknya, sangat sedikit yang tersisa mengenai apa yang bisa diketahui tentang kehidupan dan peninggalan-peninggalanlainnya dari para pengrajin dan seniman Cina (Sullivan, 1965). Kebanyakan orang tidak terlalu familiar
dengan konsep seni rupa timur jauh khususnya Cina dan Jepang, biasanya hanya dapat menerka dengan tema terbatastema tradisional dan teknik yang terbatas. Menurut Sullivan dalam bukunya yang berjudul The Book of Art: Chineseand Japanese Art, seni rupa Cina, khususnya seni lukis, mempunyai tema serta subject matter yang tidak kalah variatifdari karya-karya seni lukis di Eropa dan beberapa wilayah Barat. Dimulai dari medium padat seperti lukisan dindingyang dibuat menggunakan impasto yang

bersifat berat hingga gulungan yang dibuat menggunakan sapuan-sapuan tintatipis, seni lukis Cina mempunyai kelebihannya tersendiri sebagaimana yang secara lebih lanjut akan dijelaskan padakarya tulis skripsi ini.Perkembangan seni rupa Cina sering diasosiasikan sebagai variatifnya perkembangan tembikar-tembikar serta artefakartefakantiknya, karena pada salah satu penemuan tertuanya, peradaban Cina banyak meninggalkan relik-relik keramik(MacKenzie, 1961). Peradaban Cina sendiri dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu Cina Klasik (5000SM200SM),Cina Imperial (221SM-1900), dan Cina Kontemporer (1900-sekarang) (Fitzgerald, 1935). Pembahasan senilukis Cina, khususnya pada periode besar Cina Imperial, tak lepas dari apa yang disebut Enam Hukum Lukisan Cinayang disebut-sebut sebagai ideologi kuno yang membuat lukisan Cina menjadi berkarakter sebagaimana mestinya (Van
Briessen, 1988). Mengenai Enam Hukum Lukisan Cina serta isi dan penelaahannya yang menjadi prinsip utama dalamseni lukis Cina ini akan dibahas secara lebih lanjut dalam skripsi ini.Sebagian besar seniman Cina menggunakan filosofi dan ajaran-ajaran turun-temurun sebagai sumber inspirasinya.Misalnya pada saat melihat pemandangan alam, para seniman Cina berusaha melihat sesuatu dibaliknya, dibandinghanya menggambarkan apa yang benar-benar ada di hadapannya, mereka merasakan resonansi yang didapat dari alammelalui penghayatan dan berusaha menyampaikan perasaan itu ke dalam bentuk lukisan.

Hasil lukisan-lukisannya tidakdititikberatkan pada figur maupun atribut visual yang terdapat pada apa yang sebelumnya digambarkan, melainkanmembuka serta menampakkan “jiwa” yang terdapat pada subyeknya.Salah satu temuan awal tentang keberadaan seniman Cina di Jawa adalah lukisan cat air dengan objek badak berculabuatan seniman yang tidak diketahui namanya pada pertengahan abad ke-17 (Krauss, 2005). Pada abad ke-18,pemerintah Cina pada masa itu mempunyai kebiasaan untuk memberi lukisan-lukisan hadiah kepada bangsaEropa yangberkunjung dan melakukan transaksi dagang. Hal ini dilihat oleh bangsa Barat sebagai peluang bisnis dengan caramenjual hasil-hasil lukisan pemberian pada saat mereka pulang kembali ke Eropa. Setelah terjadinya Perang Opiumyang mengharuskan Cina mengubah sebagian besar siklus serta jalur dagangnya, termasuk perdagangan seni, beberapaseniman tinggal dan menetap di Singapura sekitar tahun 1850-an (Krauss, 2005).Kedatangan banyak perupa Cina ke Indonesia disebutkan dalam catatan jurnal penelitian yang ditulis oleh WernerKrauss yang berjudul Chinese Influence on Early Modern Indonesian Art? Hou Qua: A Chinese Painter in 19thCentury Java yang terdapat di jurnal Archipel edisi 69 tahun 2005. Pada paragraf penjelasannya, para perupa Cina yangdatang ke Indonesia kebanyakan berasal dari Singapura pada pertengahan abadke 19.



Sebagian dari merekaberkesenian untuk mencari nafkah. Krauss juga mengutip secara langsung kalimat yang terdapat pada dokumentasisurat kabar yang terbit kala itu yang menyebutkan tersohornya para “ahli-ahli gambar” dari Cina. Menurut beberapa catatan sejarah, ini adalah awal dari kedatangan para perupa Cina di Nusantara.Asimilasi yang tumbuh antara masyarakat pendatang dan pribumi menimbulkan wacana pluralitas. Saat akhirnyamasyarakat menjadi heterogen di masa industrialisasi, para pendatang dapat menempatkan dirinya di berbagai sektoryang sedang berjalan di Nusantara. Pada masa inilah banyak lembaga maupun perusahaan yang dikelola oleh parapendatang bermunculan.Sekitar tahun 1937, Presiden Soekarno memulai kegiatannya untuk mengoleksi karya-karya seni rupa secara pribadidari berbagai seniman lokal maupun luar negeri. Beberapa di antaranya dipindahkan ke rumahnya di Jalan PegangsaanTimur selama masa pengasingan dirinya oleh Jepang.Disebut-sebut terdapat ribuan karya seni rupa yang tercatat dalam daftar koleksi Istana Negara. Beberapa di antaranyadiarsipkan dan ditempatkan di empat istana yang berbeda, yaitu Istana Negara Republik Indonesia, Istana KepresidenanBogor, Istana Tampaksiring di Bali, Gedung Agung Yogyakarta, dan Istana Cipanas. Karya-karya seni rupa tersebutmemiliki nilai sejarah yang tinggi ditilik secara relatif dari seniman-seniman pembuatnya, seperti Raden Saleh, BasukiAbdullah, Affandi, Trubus, Dullah, Lee Man Fong, Lim Wasim, dan lain-lain.Beberapa perupa Istana yang dipekerjakan oleh Presiden Soekarno pada masa itu dipilih

berdasarkan selera pribadiPresiden pada masa itu, yang mana beliau merupakan seseorang yang menaruh perhatian tersendiri terhadap karya-Poppy RahayuJurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3karya lukis dan patung karya seniman nusantara. Para seniman yang cukup sering dibicarakan di kalangan IstanaNegara pada era itu di antaranya Henk Ngantung, Sudjojono, Lee Man Fong, Basuki Abdullah, dan lain-lain. Masingmasingmengangkat tema serta teknik yang berbeda pada karya-karyanya. Lee Man Fong, salah satunya, menggunakanvisualisasi lukisan Cina dengan menggunakan percampuran teknik Barat hasil studinya yang ia peroleh melaluibeasiswa dari pemerintah Belanda selama beberapa tahun. Lee Man Fong juga merupakan pemrakarsa kelompokseniman Tionghoa di Indonesia yang bernama Yin Hua pada tahun 1955 (Burton, 2009). Bekerja sebagai senimanIstana, Lee Man Fong disejajarkan dengan beberapa seniman yang mengangkat teknik serta tema lukisan Cina di istana,salah satunya adalah Lim Wasim. Pergolakan politik pada tahun 60-an membuat hidup keduanya simpang siur, ManFong melarikan diri ke Singapura, sementara Lim Wasim bertahan di Istana dengan tekanan dari orang-orang yangmenganggapnya Sukarnois. Keduanya tetap aktif berkarya dan berpameran secara rutin di dalam maupun luar negeri.Lee Man Fong disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan seni lukis bergaya Cina diIndonesia.


Lahir tahun 1913 dari keluarga seorang pejuang kemerdekaan Cina, Lee Man Fong sempat belajar melukisdari seorang guru bernama Lingnan. Pada 1932, Lee Man Fong hijrah ke Batavia dari Singapura. Atas bakat melukisnyayang luar biasa, Lee Man Fong mendapat undangan berpameran dari asosiasi Hindia Belanda pada 1936 di Belanda.Pada 1940, ia mendapat beasiswa dari Gubernur Jenderal Van Mook untuk belajar seni rupa di Belanda. Di sana iasempat tinggal beberapa saat sebelum akhirnya kembali pada akhir 1952 ke Indonesia. Pada saat itu ia bekerja untuksebuah majalah bergambar di Jakarta bernama Nanyang Post, saat itulah Presiden Soekarno mengunjungi studionya danmenaruh perhatian pada karya-karyanya yang menurutnya bernuansa tenang dengan tampilan gambar-gambar alam,hewan, dan aktivitas kemasyarakatan. Menurut Presiden Soekarno, keterangan tersebut merupakan udara sejuk ditengah sibuknya suasana Revolusi. Beberapa lukisannya yang berjudul “Kerbau”, “Tiga Kuda”, “Merpati”, “GadisBali”, dan “Sepasang Kuda” merupakan sebagian kecil dari karya-karyanya yang sangat dikenal.Pada penelitian ini dibatasi sebanyak enam lukisan yang menjadi sampel, di antaranya karya-karya Lee Man Fong yangterdapat pada Istana Kepresidenan Bogor yang berjudul “Dua Ikan Mas Hitam”, “Warung di Bali”, “Taman Pei Hai”,“Wanita Bali Menenun”, “Wanita Bali Membawa Bakul”, dan “Wanita Jepang Membawa Kipas”.



1.2.      Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif secara studi literatur denganmenggunakan purposive sampling sebagai teknik pengambilan data. Adapun sampel-sampel yang telah dipilih akandievaluasi menggunakan pendekatan Teori Seni Lukis Cina, khususnya menggunakan kaidah-kaidah yang terdapat padaEnam Hukum Lukisan Cina, serta Kritik Seni Feldman pada pembahasan aspek-aspek estetis yang kemudian akandijabarkan untuk kepentingan kesimpulan pada analisisnya.Teknik pengumpulan data lainnya yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara denganbeberapa sumber relevan mengenai topik terkait, serta melakukan observasi langsung dengan mengunjungi IstanaKepresidenan Bogor di Kota Bogor, Jawa Barat, untuk mendapatkan dokumentasi langsung mengenai sampel-sampelyang menjadi fokus penelitian.
1.3.      Analisis
Pada bagian ini akan memaparkan hasil analisis dalam bentuk tabel yang tiap kolomnya memuat variabel mengenaivisualisasi karya, deskripsi objek, serta kesimpulannya. Dalam pengerjaannya, digunakan sampel-sampel yang telahdiuraikan pada bagian sebelumnya, di antaranya karya-karya Lee Man Fong yang terdapat pada Istana KepresidenanBogor yang berjudul “Dua Ikan Mas Hitam”, “Warung di Bali”, “Taman Pei Hai”, “Wanita Bali Menenun”, “WanitaBali Membawa Bakul”, dan “Wanita Jepang Membawa Kipas”

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Biografi Lee Man Fong
Lee man fongLee Man Fong adalah seorang pelukis Indonesia yang dilahirkan di Tiongkok. Ia dibesarkan dan mendapatkan pendidikannya di Singapura
Lahir: 14 November 1913, Guangzhou, Republik Rakyat Tiongkok
Meninggal: 3 April 1988, Jakarta
Buku: Teachers' Perceptions of Students with Dyslexia in a Local Primary School, LAINNYA.



Lee Man Fong (1913-1988) adalah seorang pelukis Indonesia yang dilahirkan di Tiongkok. Dia dibesarkan dan mendapatkan pendidikan di Singapura. Di sana dia belajar melukis dengan seorang pelukis Lingnan, dan terakhir dengan seorang guru yang mengajarkannya lukisan cat minyak. Awalnya Man Fong tak diijinkan untuk menjadi seorang seniman oleh sang ayah, Lee Ling Khai, seorang pebisnis tulen. Meski keluarganya berkonsentrasi di dunia dagang, Man Fong memilih sikap yang lain. Ia meyakini uang tak hanya bisa dicari dengan cara berdagang saja.Sejak usia empat tahun Man Fong sudah mulai melukis yang awalnya menggunakan pinsil, kemudian meningkat ke pinsil warna, lalu krayon, pastel hingga cat air. Dalam melukis dia pandai memberikan argumentasi dan deskripsi atas lukisan-lukisannya dengan segenap pengetahuan dan khayalannya. Saat ayahnya meninggal (1930), Man Fong mulai menghidupi keluarganya dengan kemampuan melukisnya di Singapura. Tahun 1932, dia hijrah ke Jakarta untuk berkerja sebagai pelukis komersil. Tahun 1936, Man Fong diundang berpartisipasi dalam pameran lukisan oleh pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur.Man Fong tinggal selama 33 tahun di Indonesia.Pada masa Perang Dunia II dia ditawan Jepang, kemudian setelah Indonesia merdeka, Pada tahun 1961 Lee Man Fong diangkat resmi menjadi pelukis istana dan warga Indonesia menggantikan pelukis sebelumnya, Dullah (1950-1960). Semenjak itu Man Fong bekerja untuk Presiden Soekarno dalam waktu empat tahun. Lee Man Fong tergolong pelukis maestro


sekelas Affandi. Lukisan Lee Man Fong sangat disukai Soekarno karena dipandang seperti ventilasi di tengah sibuknya revolusi.Lukisan-lukisan Lee Man Fong diakui sebagai perintis pelukis Asia Tenggara. Pada Tahun 1964 ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membuat buku yang berjudul "Lukisan-Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Soekarno dari Republik Indonesia" buku ini berisi seluruh karya-karya seni yang dikoleksi Presiden Soekarno dan semuanya berjumlah 5 Volume, setiap volume berisi sekitar 100 koleksi lukisan dari karya-karya pelukis Indonesia dan luar negeri.Lee man fong sendiri juga membuat buku sendiri yang berisi kumpulan lukisannya, diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, volume I dan II dan diterbitkan oleh museum Art Retreat. Buku ini ditulis oleh kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T., sementara seleksi karya dilakukan oleh Siont Tedja. Kedua buku yang keseluruhannya berisi 700 halaman ini berisi 471 lukisan pilihan koleksi banyak kolektor dari seluruh Dunia.Pada tahun 1966, karena kekacauan politik di Indonesia, Lee Man Fong hijrah ke Singapura dan lama menetap di sana, karena lama menetap di Singapura, dia bahkan dianggap sebagai pelukis Singapura. Tahun 1988 ia meninggal di Puncak, Jawa Barat, karena sakit.Man Fong sudah banyak menciptakan karya seni lukis dengan berbagai judul. Di masa sekarang, lukisan Man Fong semakin bernilai tinggi. Pada 2010 silam, Balai Lelang Sotheby Hong Kong melelang karya Man Fong yang berjudulBali Life dengan rekor US$ 3,2 juta.


Harga yang sangat tinggi dan menjadikannya sebagai pelukis dengan karya termahal di kawasan Asia Tenggara.Selain itu lukisannya yang berjudul Fifteen Goldfish, terjual seharga Rp 16 miliar dalam lelang Christie’s di Hong Kong. Lukisan yang menggambarkan 15 ekor ikan emas hias itu dibuat pada 1940.Pada April 2011, Sotheby kembali melelang sejumlah mahakarya seni Man Fong lainnya, antara lain Doves atau Burung Merpati. Karya ini dinilai merupakan karya terbaik Man Fong karena dia jarang melukis dengan media kanvas dan terbiasa melukis diatas media hardboard. Selain itu karya seni juga berbeda dengan kebiasaan Man Fong yang menampilkan warna Asia dalam lukisannya.
“Saya suka Indonesia” kalimat itu yang sering terlontar dari mulut Lee Man Fong.Maka ketika Jepang datang ke Indonesia dan hendak menjajah Indonesia,secara gerilya Lee Man Fong turut serta melawan fasisme Jepang hingga akhirnya dia harus terpenjara selama 6 bulan pada tahun 1942. Untunglah dia ditolong oleh Takahashi Masao seorang opsir yang juga seniman ikebana (rangkaian bunga). Mereka berkenalan hingga Takashi Masao tahu kalau Lee Man Fong adalah seorang seniman dan dia tertarik dengan potensi yang dimilikinya maka Lee Man Fong pun dibebaskan.Pada tahun 1949, Lee Man Fong di beri beasiswa oleh pemerinta Belanda untuk belajar melukis di Belanda selama 3 tahun. Selama itu juga dia sempat mengadakan beberapa pameran tunggal.



Dari pameran-pameran ini Lee Man Fong mendapatkan kesuksesan.Tahun 1952 presiden Soekarno sebagai pecinta seni lukis datang ketempat Lee Man Fong di Jalan Gedong, semangat Lee Man Fong semakin terpacu. Seni lukis bagi Man fong tak lagi cuma alat ekspresi individual, namun juga sebagai perabot yang membantu sebuah pengabdian.Dan pada tahun 1955 dia mendirikan sebuah perkumpulan Yin Hua, sebagai organisasi pelukis tionghoa, yang berada di Lokasari, Jakarta Kota, dan sering mengadakan pameran. Presiden Soekarno pun sering menghadiri pameran tersebut, bahkan saat lukisan yin hua berada di Tiongkok , Lee Man Fong bertindak sebagai ketua delegasi. Dan itu sangat membuat presiden Soekarno salut juga bangga.Hubungan Bung Karno dan Man Fong terjalin baik. Lukisan Man-fong yang sempurna, manis, teknis, estetik dan justru terbebas dari paradigma gelora perjuangan, sangat selaras dengan jiwa seni Bung Karno. Karya-karya Man Fong dipandangnya sebagai ventilasi dari kesibukan revolusi. Memang, sang presiden memiliki pandangan tidak terbelenggu kepada tema tertentu. Hal ini terdata di kemudian hari, bahwa tema perjuangan ternyata hanya mencakup tak lebih dari 10 persen belaka dari seluruh koleksinya yang beribu-ribu."A thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar dari bibir Bung Karno.Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam benda yang elok, pemandangan yang tenteram, sudut kampung yang adem, sangat membahagiakannya. Singkat kata, riwayat, pribadi dan karya-karya Man Fong cocok dengan Bung Karno.

Hingga usulan Dullah, salah seorang pelukis kesayangan Bung Karno, agar Man Fong menggantikannya jadi pelukis Istana, diterimanya dengan sukacita. Maka pada tahun 1961 Lee Man Fong diangkat resmi menjadi pelukis istana dan warga Indonesia dan semenjak itu dia bekerja untuk Presiden Soekarno untuk waktu lama.
Tapi setelah diangkat menjadi pegawai resmi istana, dan bertugas mengurus koleksi sang presiden, Lee Man Fong merasa ada yang kurang, karena Lee Man Fong bukanlah seorang pekerja kantoran yg terbiasa dengan jam kerja, lingkungan yang protokoler, dan harus selalu patuh terhadap Presiden. Semua itu tak mudah bagi Lee Man Fong. Akhirnya Lee Man Fong mengajak sahabatnya Lim Wasim yang seorang pelukis juga sebagai asisten Lee Man Fong dan Presiden Soekarno pun menyetujuinya.
Ketika Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi lukisannya ada sekitar 2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan ada yang menyebut, inilah koleksi lukisan terbesar seorang Presiden di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika kekisruhan politik dimulai, apa boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik terpaksa "lari" ke Singapura.Dullah selama beberapa tahun berdiam diri di rumah, lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim? "Syukur saya tetap dipertahankan di Istana sampai tahun 1968. Tapi dengan pekerjaan yang tak jelas. Dan tiap pagi harus apel, tiap kali harus lapor," kisahnya.


Hasil pengabdian para pelukis Istana itu dinampakkan lewat buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid berikutnya 1961. Buku ini disempurnakan oleh Lee Man Fong, dan terbit 1964 dalam lima jilid.
Pada tahun 1985, karena kecintaannya yang begitu besar pada Indonesia, Lee Man Fong kembali ke tanah air. Pada tahun 1988 dia meninggal di Puncak, Jawa Barat, karena sakit liver dan paru-paru yang di deritanya.
  Presiden Republik Indonesia yang pertama , Sukarno memiliki hobi mengoleksi lukisan. Salah satu pelukis istana adalah Lee Manfong yang berkarya selama empat tahun [1961-1965]. Lee Manfong masuk menggantikan pelukis sebelumnya , Dullah [1950-1960]. Lee Manfong berasal dari Guangzhou dan dilahirkan disana pada tahun 1912. Ayahnya yang memiliki 10 anak. Pada saat usia Lee Manfong mencapai empat tahun , ayahnya membawanya ke Singapura. Disana Lee masuk dalam sekolah Tionghua dan ayahnya meninggal tahun 1929. Lee Manfong menekuni dunia lukis dan advertensi , kemudian pindah ke Jakarta.Tahun 1946 , Lee Manfong mengadakan pameran tunggal dan sempat menerima beasiswa Malino yang diberikan Van Mook. Lee Manfong sempat menggelar pameran lukisan di Eropa.


Lee kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan Yinhua  asosiasi pelukis Tionghua di Lokasari , Mangga Besar , Jakarta.Puluhan seniman Tionghoa menjadi aktif berkarya dan mengadakan pameran. Lie Nan Lung , wakil ketua organisasi berkata ,"Kami mau kasih sumbang kami punya karya pada sejarah kesenian Indonesia". Kontribusi pelukis diharapkan sama dengan kontribusi penulis Tionghoa yang menciptakan genre sastra "Cina Peranakan" di awal abad 20 Tahun 1956 , Lee memimpin rombongan Yin Hua ke Tiongkok. Tahun 1961 ia menjadi pelukis istana dengan Lim Wasim sebagai asistennya. Lim Wasim pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Sentral Beiking tahun 1950 dan bahkan mengajar di Institut Seni di Xi'an pada tahun 1956. Tahun 1959 ia kembali ke Indonesia. Lee mendapat gaji 5000 rupiah perbulan dan Lim mendapat gaji 4000 ribu rupiah perbulan.Pada tanggal 23 Maret 1962, Sukarno menikah dengan Naoko Nemoto [3 Februari 1940] , seorang gadis cantik asal Jepang yang juga memiliki minat tinggi pada lukisan. Nama Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Minat yang sama pada Sukarno dan Ratna Sari Dewi yang sangat apresiatif terhadap seni lukis juga berdampak pada Lee Manfong. Pada tahun 1964 , Ratna Sari Dewi berhasil melakukan lobi di Jepang sehingga sebagian koleksi Sukarno yang dibukukan berhasil dicetak di Jepang , percetakan Toppan , Tokyo. Buku ini disusun oleh Lee Manfong dengan kualifikasi cetak yang nyaris sempurna.Saat terjadi pergantiaan kekuasaan di Indonesia , Lee menyingkir ke Singapura. Dullah menyembunyikan diri di rumahnya.

Sedangkan Lim Wasim tetap berkerja di Istana sampai tahun 1968. Ketika Sukarno jatuh , koleksi lukisannya berjumlah 2300 bingkai , mungkin koleksi lukisan presiden terbanyak didunia.Didalam buku muncul berbagai lukisan spesifik cat air berbagai karya seniman Jepang. Lim Wasim , asisten Lee , mengatakan bahwa kualifikasi
karya-karya Jepang itu memang istimewa.Karya Le bukan sekedar lukisan saja , di kawasan Hotel Indonesia , bisa dilihat gedung-gedung baru yang dibangun sedemikian dekat dengan dome yang ditengahnya ada mosaik karya Lee.       Di masa sekarang , lukisan Lee Man Fong semakin bernilai tinggi. Di tahun 2010 , Sotheby Hong Kong melelang karya Lee yang berjudul "Bali Life" dengan rekor 3.2 juta USD. Harga yang sangat tinggi dan menjadikan Lee sebagai pelukis dengan karya termahal di kawasan Asia Tenggara.
Balai lelang terkemuka , Sotheby pada April 2011 lalu melelang sejumlah mahakarya seni yang salah satunya adalah lukisan karya Lee Man Fong yang berjudul Doves atau Burung Merpati. Karya ini dinilai merupakan karya terbaik Lee karena Lee jarang melukis dengan media kanvas. Ia terbiasa melukis diatas media hardboard. Selain itu karya seni juga berbeda dengan  kebiasaan Lee yang menampilkan warna Asia dalam lukisannya. Lee adalah ikon sejarah seni rupa Indonesia. Ia bukan jenis pelukis yang berambisi menciptakan konsep-konsep artistik yang eksplosif , namun tetap dikenang karena karyanya mampu menggoyang konvensi visual yang sudah ada.

2.2       Karya Abadi Lee Man Fong di atas Kain Kanvas
Perusahaan global yang bergerak di bidang lelang karya seni, Sotheby’s pada awal April mendatang akan melelang sejumlah mahakarya kelas dunia di Hong Kong. Salah satu karya seni yang akan dilelang adalah lukisan karya maestro Lee Man Fong berjudul Doves (burung merpati).
Menurut perwakilan dari Sotheby’s Jakarta Septi, karya Man Fong ini akan dilelang pada 4 April mendatang. “Sebelum dilelang kami juga melakukan pameran di sejumlah negara di Asia. Yaitu di Jakarta, Shanghai, Beijing, Bangkok, Taipei, Singapura dan puncaknya lelang di Hong Kong,” jelasnya.
Burung merpati karya Man Fong ini dinilai merupakan salah satu mahakarya dari pelukis yang wafat tahun 1988 di Jawa Barat itu. Karena ia jarang sekali melukis dengan menggunakan media kanvas. Ia terbiasa melukis di atas media hardboard. Selain itu karya seni ini juga berbeda dengan kebiasaan Man Fong yang menampilkan warna Asia dalam lukisannya. Lukisan burung merpati putih karyanya ini ditampilkan dengan gaya barat (western). Burung merpati selama ini dianggap sebagai simbol keabadian, dan Man Fong menuangkannya ke atas kain kanvas.  Lee Man Fong merupakan ikon sejarah seni rupa Indonesia. ia bukan jenis pelukis yang berambisi menciptakan konsep-konsep artistik yang eksplosif.



Namun, ia tetap dikenang karena karyanya yang mampu menggoyang konvensi visual yang sudah ada.Dalam kualifikasi artisitik, Man Fong setara dengan maestro seni rupa yang lainnya seperti Hendra Gunawan, S Sudjojono, atau Affandi. Man Fong mampu membuat berbagai objek, dari tumbuhan, bunga, lanskap, alam benda, bangunan tua, satwa hingga manusia. Medium yang digunakannya pun berbagai jenis, dari cat minyak di atas kanvas, cat minyak di atas hardboard, cat air di atas kertas, pensil di atas kertas, arang di atas kertas , atau pastel di atas kertas. Man Fong lahir di Guangzhou, Tiongkok, 14 November 1913. Ayahnya Lee Ling Khai seorang pebisnis tulen yang tak menghendaki putranya menjadi seorang seniman. Namun meski keluarganya berkonsentrasi di dunia dagang, Man Fong memilih sikap yang lain. Ia meyakini materi (uang) tak hanya bisa dicari dengan cara berdagang saja. Man Fong mulai melukis sejak usia empat tahun. Awalnya menggunakan pinsil, kemudian meningkat ke pinsil warna, lalu krayon, pastel serta cat air. Dalam melukis ia pandai memberikan argumentasi dan deskripsi atas lukisan-lukisannya dengan segenap pengetahuan dan khayalannya.Pada tahun 2010, Balai Lelang Sotheby Hongkong melelan karya Man Fong yang berjudul Bali Life seharga 3,2 juta dollar Amerika. Hal ini menjadikan Lee Man Fong sebagai pelukis dengan karya termahal di Asia Tenggara. Lukisannya berjudul Fifteen Goldfish, terjual seharga 16 miliar rupiah dalam lelang Christie’s di Hongkong. Di dalam lukisan ini terdapat 15 ekor ikan emas hias yang dibuat pada tahun 1940. April 2011, Sotheby kembali melelang mahakarya seni Lee Man Fong yaitu Doves (Burung Merpati) karya ini

dianggap sebagai karya terbaik Man Fong karena jarang melukis di media kanvas dan terbiasa melukis di atas media hardboars. Dalam karyanya ini juga berbeda dari sebelumnya karena Lee Man Fong sering menampilkan warna Asia dalam lukisannya.
        1.BALI LIFE






2.DOVES
3.FITTEEN GOLDENFISH


4.OIL POIRTRAIT
           
5.THE EAGLE
           

2.3       Warisan Identitas Lee Man Fong
              Etnis Tionghoa semakin bangga, kala Man Fong dan Wasim ditunjuk Bung Karno menjadi pelukis Istana pada 1960. Mereka menggantikan posisi Dullah, yang sudah mengabdi selama 10 tahun. Sebelum resign, Dullah dihantui dilema: kebebasan bergerak dan kecilnya imbalan.Pada 1961, Man Fong resmi menyandang WNI. Ia pun menjadi kepercayaan Bung Karno di Istana Kepresidenan. Keberadaan dua pelukis Tionghoa di Istana ini, tak pelak menjadi sebuah kebanggan bahwa dunia seni rupa Tionghoa bisa memberikan sesuatu untuk Indonesia.Organisasi Yin Hua bukan sekadar lembaga kumpulan pelukis Tionghoa saja. Bagaimana pun mereka sudah memberikan sumbangan dan warisan identitas yang berharga.
Agus Dermawan T mencatat, karya-karya pelukis Yin Hua ada yang bergaya Tionghoa-Bumiputra, Tionghoa-Barat, dan Barat seutuhnya. Dari sana, khasanah seni rupa kita bertambah kaya, bukan?Keunikannya, semua gaya lukis itu ternyata mewarisi kekuatan visual seni Tiongkok yang dikenalkan Dinasti Tang, serta proyeksi piktorial (cara penyajian sebuah gambar tiga dimensi terhadap bidang dua dimensi) dan puitik khas Dinasti Song (960-1127). Semuanya itu diramu dan dipadukan dengan objek keindahan alam Indonesia.


Lalu, apa identitas dan warisan Man Fong kepada dunia seni rupa Indonesia? Selain pernah mendirikan dan memimpin organisasi pelukis Tionghoa, Yin Hua, Man Fong pun meninggalkan warisan lainnya, yakni sebuah kitab monumental penyempurnaan susunan Dullah yang terbit dalam lima jilid. Kitab itu berisi koleksi Soekarno, yang terdiri dari 400 lukisan, serta lebih dari 100 patung dan keramik. Kitab tersebut dikerjakan pada 1964 oleh Man Fong dan Wasim.
Tentu saja, warisan Man Fong yang penting lainnya adalah gaya Tionghoa-Barat dalam lukisannya. Menurut Poppy Rahayu dalam tulisannya Analisis Lukisan Lee Man Fong Periode 1950-1965 Koleksi Istana Negara, secara tematik Man Fong menyentuh segala aspek yang terdapat dalam lukisan Tiongkok, seperti pemandangan, lanskap, potret, satwa, serta impresionis dengan visual lukisan Tiongkok.Tragedi berdarah 1965 menyapu semua harapan. Menurut Agus Dermawan T dalam buku Melipat Air; Jurus Budaya Pendekar Tionghoa, pascaperistiwa kelam itu, beredar isu pelukis Tionghoa yang ada di Yin Hua otomatis berada di bawah Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).Sementara Baperki dituding terafiliasi PKI, organisasi yang dilarang setelah dituduh jadi dalang tragedi 30 September 1965.Anggapan itu menyimpulkan bahwa seniman Tionghoa terindikasi komunis. Selain itu, dihembuskan isu bahwa Baperki dikuasai pemikiran politik ketua umumnya, Siauw Giok Tjhan, yang sangat sukarnois. Baperki pun diidentikan

pengikut Soekarno. “Padahal saya tak paham apa itu Sukarnoisme dalam politik. Saya hanya tahu hubungan Bung Karno dengan seni,” kata Man Fong. Pada 1967, ia meninggalkan Indonesia. Memilih terbang ke Singapura, dan tinggal di Bukit Timah. Para pentolan pelukis Tionghoa, menyingkir dari gelanggang. Wen Peor lari ke Hongkong. Siauw Tik Kwie sembunyi di kampung halamannya. Ada pula yang lari ke Taiwan, Belanda, dan Brasil. Dengan demikian, seni rupa Tionghoa seakan terhapus dari khasanah kesenian Indonesia.
2.4       Pelukis Istana Asal Negeri Sutera  
              Sukarno mengangkatnya menjadi pelukis Istana. Gerakan 30 September membuatnya hijrah ke Singapura dan dianggap sebagai pelukis besar Singapura.PERJALANAN hidup membawanya tinggal di Indonesia. Ini bermula ketika Lee Ling Khai, ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan China, membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Lee Man Fong yang masih berusia empat tahun, meninggalkan negeri leluhur untuk merantau ke Singapura. Di sana Ling Khai merintis bisnis dagang dan berhasil meraih sukses berkat bantuan seorang sahabat bernama Dr Sun Chung-Shan –nama lain dari Dr Sun Yat Sen.Lee Man Fong, lahir di kota Guangzhou, China, pada 14 November 1913, sempat mengenyam pendidikan di Anglo-Chinese School dan belajar melukis pada seorang guru bernama Lingnan.


Tapi jiwa pejuang ayahnya sepertinya belum padam meski tinggal di negeri orang. Ling Khai terlibat dalam dunia politik yang membangkrutkan bisnisnya, dan akhirnya meninggal dunia karena sakit pada 1929. Hidup menjadi pertarungan sesungguhnya bagi Man Fong, yang menggunakan keahliannya menggambar untuk menafkahi ibu dan ketujuh saudaranya. Sayang, hasilnya tak pernah mencukupi.Terlilit kesulitan hidup di Singapura, pada 1932 Man Fong memutuskan hijrah ke Batavia. Dia bekerja sebagai editor seni sebuah majalah China lalu desainer di Kolf and Co., sebuah perusahaan Belanda di bidang percetakan dan penerbitan. Dua tahun kemudian dia mendirikan agen advertensi dan bekerja sebagai seniman komersial. Karena bakat melukisnya, Man Fong mendapat undangan dari pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur pada 1936 untuk ikut berpameran di Belanda. Ini menyulut kemarahan anggota komunitas seniman Belanda, karena biasanya hanya anggota komunitas merekalah yang boleh ikut berpameran. Bukan hanya karier yang lebih baik, Man Fong juga menemukan pasangan hidupnya di Batavia. Dia menikahi seorang pianis bernama Lie Muk Lan dan memiliki seorang putra bernama Lee Ramm. Man Fong akhirnya menggeluti seni lukis secara total sejak 1940. Demi menggapai impian untuk pameran tunggal, dia meninggalkan seni komersial untuk melukis di Bali. Selama periode tersebut,alam dan kehidupan masyarakat Bali terekam di atas kanvasnya. Setelah tiga bulan dia kembali ke Jawa dan menggelar pameran di Jakarta pada Mei 1941 lalu diikuti pameran di Bandung.

Kariernya terhenti sesaat ketika pada 1942 dia mendekam di hotel prodeo akibat turut menentang kolonialisme Jepang. Enam bulan jadi tahanan, atas jasa Takahashi Masao, seorang opsir-cum-seniman ikebana (seni merangkai bunga bunga) yang terpikat kecakapan lukis Man Fong, dia dibebaskan. Man Fong kembali melakoni rutinitasnya sebagai pelukis.Pada 1949 dia mendapat beasiswa Malino dari Gubernur Jenderal Belanda Van Mook untuk memperdalam seni rupa di Negeri Kincir Angin. Tiga dari karyanya diterima dengan baik. Selama tinggal di Eropa, dia mengunjungi Inggris, Prancis, Switzerland, Italia, Luxemburg, dan Belgia.Kembali ke Indonesia pada akhir 1952, Man Fong sempat berprofesi sebagai editor seni di Nanyang Post, majalah bergambar yang terbit di Jakarta. Pada tahun yang sama, Presiden Sukarno mengunjungi studionya di Jalan Gedong. Pameran-pameran yang digelar Yin Hua, organisasi pelukis Tionghoa yang didirikan Man Fong pada 1955 dan bermarkas Prinsenpark (sekarang Lokasari), Jakarta, juga kerap disambangi Sukarno.Sukarno jatuh hati. Karya-karya Man Fong yang “menyejukkan” hati lewat tampilan gambar-gambar realis bernuansa alam, hewan, dan aktivitas kehidupan sederhana masyarakat diibaratkan Sukarno sebagai ventilasi di tengah sibuknya Revolusi.“Lukisan Lee Man-Fong yang realistik bukan salinan realitas yang mencari kebenaran. Lee Man-Fong sendiri menyatakan bahwa lukisan realistiknya adalah hasil transformasi observasi realitas yang sangat mendalam. Observasi ini memerlukan penghayatan dan kejujuran.

 Tentang teknik melukis yang disebutnya ‘rendering’, ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan yang sophesticated untuk bisa merekam hasil observasi realitas,” tulis kurator Jim Supangkat, “Chusin’s Realistic Painting. A Thesis”, dalam katalog pameran tunggal pelukis Chusin Setiadikara di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Maret 2011.Bersama seniman Yin Hua lainnya, Man Fong memenuhi undangan dari Republik Rakyat China pada pertengahan 1956. Mereka berkunjung selama lima bulan serta mengatur pameran di Peking dan Kanton. Di China, Man-Fong bertemu pelukis Ch’i Pai-Shih, yang dikenal sebagai salah seorang pembaharu seni lukis tradisional, di Beijing, bahkan membuat potretnya. Di sinilah lukisan realistik Man Fong mendapat pengakuan. Sekembali ke Indonesia, Man Fong menggelar pameran di Jakarta yang menampilkan lebih dari 80 karyanya.
“Kerbau”, “Tiga Kuda”, “Merpati Putih di Senja Hari’, “Gadis Bali (Nude)”, dan “Sepasang Kuda” adalah sebagian kecil judul lukisan terkenal garapan Man Fong. Seperti terbaca dari judulnya, Man Fong memang senang mengangkat tema-tema sederhana, dari binatang hingga pemandangan alam. Dalam hal pencapaian artistik, karya-karyanya disetarakan dengan karya maestro lukis seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudjojono.“Lukisan-lukisan Lee Man Fong bersifat orisinil, dengan figur-figur realistik dan penerapan warna yang matang. Dia menggabungkan antara gaya lukis Barat dan gaya Chinese art.

Karya Man Fong memberi warna baru bagi dunia seni lukis Indonesia saat ini,” kata Kuss Indarto, kurator seni rupa asal Yogya.Pada 1961, atas anjuran pelukis Dullah, Sukarno mengangkat Man Fong menjadi pelukis istana sekaligus memberinya kewarganegaraan Indonesia. Man Fong menunjuk kawannya, Lim Wasim, sebagai asistennya. Lim pelukis kelahiran Bandung, 9 Mei 1929, yang pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950, selain sempat mengajar di Perguruan Seni Xian di Kota Xian, China.Selain melukis, Man Fong menguratori benda-benda seni koleksi Soekarno. Meski berat menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang terjadwal dan urusan protokoler, Man Fong menjalaninya dengan baik. Pada 1964, Man Fong ditunjuk Presiden Sukarno untuk membuat koleksi karya seni Presiden Sukarno. Terbitlah “Lukisan-lukisan dan Parung dari Koleksi Presiden Sukarno dari Republik Indonesia” dalam lima jilid.Keadaan mulai tak menentu bagi Man Fong saat Sukarno lengser. Terkurung dalam ingar-bingar politik, Man Fong bersama keluarganya terpaksa hijrah ke Singapura. Lama tinggal di sana, Man Fong mendapat status penduduk tetap dan akhirnya dianggap sebagai salah satu tokoh dan pelukis besar Singapura.Lee Man Fong baru kembali ke negeri yang dicintanya, Indonesia, pada 1985. Dia tinggal di rumahnya di Bogor. Namun sejak itu dia dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Pada 1988, Lee Man Fong tutup usia akibat sakit liver dan paru. Kumpulan lukisannya diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, dua jilid, oleh Art Retreat Museum pada 2005.

Buku ini ditulis kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T. Kedua buku itu memuat 471 lukisan pilihan Man Fong milik para kolektor dari seluruh dunia.









2.5       Harga Lukisan Termahal Lee MAN Fong
1.Balinese Procession (Prosesi Warga Bali) – HK$15,7 juta (US$ 2.019.018
Lee Man Fong yang lahir di Guangzhou, Tiongkok, pindah ke Singapura saat usia belia. Setelah sempat tinggal di Batavia, dia bermukim di Bali dalam waktu cukup lama.Balinese Procession menggambarkan kehidupan sehari-hari di Bali, bukan hanya upacara. Lukisan ini menyuguhkan kesan hangat, lembut, dan tenang.Balinese Procession terjual seharga HK$15,7 juta (Rp27,28 miliar) di balai lelang Sotheby’s Hong Kong pada April 2017.






2.The Eagle (1948)
Lee Man Fong gemar memelihara binatang, seperti ayam, merpati, beo, dan anjing. Halaman rumahnya juga berhias kolam tempat hidup ikan mas koki. Tak heran jika dia kerap melukis piaraaannya tersebut.Dalam metafora masyarakat Tionghoa, elang di atas karang menyimbolkan seorang pahlawan yang berjuang sendirian. Garuda, yang dalam ajaran Hindu adalah kendaraan Dewa Wisnu, dijadikan Lambang Negara Indonesia. Man Fong menggabungkan dua simbolisme kuno itu dalam satu karya, The Eagle.
The Eagle terjual di balai lelang Zeeuws Veilinghuis di Middelburg, Belanda pada Juni 2017.


G.        Kritik
.The Eagle (1948)
Lee Man Fong gemar memelihara binatang, seperti ayam, merpati, beo, dan anjing. Halaman rumahnya juga berhias kolam tempat hidup ikan mas koki. Tak heran jika dia kerap melukis piaraaannya tersebut.
Dalam metafora masyarakat Tionghoa, elang di atas karang menyimbolkan seorang pahlawan yang berjuang sendirian. Garuda, yang dalam ajaran Hindu adalah kendaraan Dewa Wisnu, dijadikan Lambang Negara Indonesia. Man Fong menggabungkan dua simbolisme kuno itu dalam satu karya, The Eagle.
The Eagle terjual di balai lelang Zeeuws Veilinghuis di Middelburg, Belanda pada Juni 2017.



2.6       Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, seperti lukisan-lukisan dengan visualisasi tema dan teknik Cina banyak terlihat menjelang akhir hayatnya di paruh akhir 1980-an. Hal ini merupakan hasil dari konsistensi transisi yang ia alami pada pertengahan 1950-1960 di mana ia mulai kembali mengeksekusi teknik serta tema lukisan Cina. Republik Indonesia yang pada saat itu baru merdeka, mendapat banyak variasi dari arus heterogenitas yang dibawa oleh orang-orang pendatang, khususnya yang berasal dari sekitaran benua Asia. Seni lukis Indonesia, yang waktu itu terdapat di dalamnya banyak perupa dari Cina, salah satunya Lee Man Fong, mengalami perluasan tema dan teknik eksplorasi yang disebabkan oleh adidaya pemerintah Indonesia terhadap para tokoh-tokoh Tionghoa di Indonesia yang selain mempunyai modus untuk berdagang, mereka juga dianggap membawa potensi kebudayaan yang harus digali. Proses transformasi budaya dialami Lee Man Fong dimulai pada saat kanak-kanak ketika ia masih tinggal di Cina dan
mendapatkan pendidikan seni rupa langsung oleh guru-guru yang menganut filosofi seni lukis Cina pada praktek seni rupanya. biodata Lee Man Fong, didapat pada saat ia berusaha memunculkan sesuatu yang baru dengan membawa kecenderungan Timur sebagai tonjolan utama visual yang kala itu ditawarkan pada saat ia berpameran tunggal di Belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar